Victim blaming adalah perilaku menyalahkan korban. Contohnya menyalahkan pakaian yang digunakan oleh korban kekerasan seksual. Victim blaming bisa merusak mental korban dan membuat pelaku tidak mendapatkan ganjaran yang setimpal.
Ditinjau secara medis oleh dr. Anandika Pawitri
4 Jul 2023
Orang dengan mental victim blaming seringkali juga ikut menyalahkan korban
Table of Content
Bukan rahasia jika keadilan seakan tidak berpihak pada korban kekerasan seksual. Bukannya mendapat keadilan setelah memberanikan diri menyuarakan penderitaannya, yang terjadi justru victim blaming. Korban justru dianggap sebagai yang bersalah. Ini hanya segelintir contoh, karena victim blaming bisa terjadi seputar hal apapun.
Advertisement
Faktanya, tendensi untuk menyalahkan korban bisa jadi telah terprogram di pikiran manusia sejak level yang paling mendasar. Tidak melulu berarti secara langsung menuduh korban, tapi bisa saja mengaitkan apa yang telah dilakukan korban dengan apa yang dialaminya.
Victim blaming atau menyalahkan korban adalah tindakan merendahkan korban kejahatan atau kecelakaan dengan cara turut menuntut korban bertanggung jawab atas seluruh atau sebagian kejahatan yang menimpa mereka.
Sayangnya, victim blaming bisa dilakukan siapapun, mulai dari masyarakat umum, media, bahkan orang terdekat dan profesional hukum, medis, hingga kesehatan mental.
Beberapa korban kejahatan mungkin menerima lebih banyak simpati dari masyarakat, sementara yang lainnya justru mengalami victim blaming. Ini bisa terjadi akibat adanya kesalahpahaman yang membuat masyarakat percaya bahwa korban pantas mengalami peristiwa buruk yang menimpanya.
Kondisi ini bisa menjadi hal yang menyulitkan bagi para korban apabila mereka dipersalahkan atas kejahatan yang menimpa dirinya.
Contoh victim blaming bisa didapati dari pernyataan-pernyataan yang menyalahkan korban seperti misalnya:
Seringkali pernyataan tersebut muncul akibat kesalahpahaman bahwa setiap orang memiliki kemampuan untuk menghindari kejahatan dari orang lain. Serta mempercayai bahwa orang lain tidak akan menyakiti atau melecehkan secara spontan jika tidak dipancing atau diberi kesempatan. Namun, menjadi korban kejahatan bukanlah kesalahan siapa pun kecuali si pelaku kejahatan.
Victim blaming bisa memberikan banyak dampak negatif bagi korban, termasuk menambah beban mental. Korban bisa saja percaya dengan kata-kata orang yang menyalahkannya, sehingga menganggap dirinya memang benar-benar pantas untuk ditimpa kejahatan atau kecelakaan tersebut.
Selain itu, perilaku victim blaming juga bisa memberikan dampak berupa:
Secara tidak sadar, perlakukan kolektif victim blaming membuat sistem yang tidak berpihak pada korban. Terlepas dari banyaknya gerakan atau aksi sosial mendukung korban, tetap saja praktik victim blaming masih langgeng hingga kini.
Baca Juga: Mengenal Altruisme, Perilaku Mementingkan Orang Lain Di Atas Diri Sendiri
Secara psikologis, victim blaming bisa terjadi karena ada rasa abai terhadap kondisi orang lain. Ditambah lagi dengan perasaan superior yang membuat seseorang cenderung merasa kurang empati dengan apa yang dialami orang lain.
Secara spesifik, psikolog meyakini tendensi victim blaming secara paradoks merupakan kebutuhan mendasar bahwa dunia ini adalah tempat yang baik. Untuk membuatnya terwujud, perlu ada alasan yang masuk akal terhadap semua yang terjadi di sekitar.
Nyatanya dalam keseharian, ada banyak sekali berita menyeramkan yang benar-benar terjadi. Sebagai bentuk perlindungan terhadap semua ketakutan itu, muncul tendensi untuk melakukan victim blaming sehingga hal-hal malang atau kesialan itu terasa “jauh” dari diri sendiri.
Masih mendukung tendensi tentang victim blaming ini, psikolog dari University of Massachusetts menyebut cara pandang “positive assumptive worldview”. Pada level tertentu, sebagian besar manusia percaya bahwa bumi adalah tempat yang baik.
Dengan demikian, hal baik akan terjadi pada orang baik pula. Lebih spesifik lagi, orang yang berpikir tentang hal ini merasa dirinya baik dan tidak akan mendapat kemalangan atau menjadi korban.
Sayangnya, semua keyakinan ini kerap tanpa sadar membuat manusia menggampangkan penderitaan korban hingga melakukan victim blaming. Untuk membuat nyaman diri sendiri di tengah banyaknya kasus kriminal di sekitar, manusia secara psikologis merasa bahwa korban memang telah melakukan sesuatu yang membuatnya mengalami tindakan kriminal itu.
Dilansir dari laman STARS (Sexual Trauma and Recovery Service), tendensi untuk victim blaming sebenarnya adalah bentuk perlindungan terhadap diri sendiri. Dengan melakukannya, ada rasa “terpisah” dari korban dan keyakinan bahwa tidak ada hal buruk yang akan terjadi pada diri sendiri.
Lawan kata dari victim blaming adalah empati. Ketika orang merasa empati, maka tendensi untuk victim blaming akan hilang.
Untuk mencegah munculnya victim blaming, hal yang bisa dilakukan adalah:
Segera bangun rasa empati ketika mendengarkan berita kriminal atau berita buruk apapun. Posisikan diri sebagai korban sehingga bisa ikut merasakan dan terhindar dari jebakan pikiran untuk victim blaming.
Ketika mengalami kemalangan atau menjadi korban tindakan kriminal, tentu tak ada yang ingin disalahkan. Tidak ada yang ingin dianggap memancing tindakan kriminal. Tidak ada yang ingin menjadi trauma. Untuk itu, buang jauh-jauh pikiran victim blaming karena hanya akan membuat korban merasakan semua itu.
Berpikirlah realistis bahwa dunia ini bukan tempat yang selamanya aman. Artinya, tidak ada tindakan kriminal sekecil apapun yang bisa dimaklumi. Dengan demikian, rasa berpihak terhadap korban yang berani bicara atau melaporkan tindakan kriminal yang terjadi padanya akan semakin besar.
Selain keberpihakan, kadang bias gender juga membuat seseorang bisa melakukan victim blaming tanpa disadari. Jadi, hilangkan unsur gender ketika berbicara tentang korban. Sebagai contoh tindakan pelecehan seksual yang kerap kali diasosiasikan dengan perempuan, di sisi lain bisa dianggap hal biasa ketika yang menjadi korban adalah laki-laki.
Meski terdengar mirip, victim blaming dan playing victim merupakan dua istilah yang berbeda. Playing victim merupakan salah satu cara seseorang untuk menghadapi sebuah masalah dengan memanipulasi peran sebagai korban, baik secara sadar maupun tidak.
Menurut ahli, playing victim biasa dilakukan oleh mereka yang merasa takut dan tidak berani mengakui kesalahan dalam dirinya. Ketakutan ini umumnya akan semakin terasa karena adanya kekhawatiran terhadap tekanan atau perlawanan dari orang lain yang membuat pelaku playing victim lebih dulu mengambil peran korban. Hal ini akan dilakukannya sebelum dicap sebagai pihak negatif oleh sekitar.
Di sisi lain, playing victim umumnya akan bersinggungan dengan victim blaming. Victim blaming merupakan respon dari adanya peristiwa atau tragedi yang terjadi pada orang lain, dan kerap menunjukkan sikap menyalahkan korban tanpa mendengarkan penjelasan terlebih dahulu. Hal ini adalah sebuah respons terhadap sebuah peristiwa dimana terdapat korban dan pelaku.
Baca Juga: Sulitnya Korban Pemerkosaan Atasi Trauma
Victim blaming adalah kebiasaan yang perlu diubah. Jika kamu termasuk salah satu korban yang pernah disalahkan dan merasa hal tersebut sangat memengaruhi mental, segera konsultasi ke psikolog untuk mendapatkan cara paling efektif untuk memperbaiki mental.
Advertisement
Ditulis oleh Azelia Trifiana
Referensi
Artikel Terkait
Sebagian orang khawatir akan tingginya kandungan lemak pada keju. Namun tenang, terdapat beragam jenis keju rendah lemak yang lezat dan dapat membawa dampak baik untuk kesehatan.
16 Nov 2020
Minyak mineral adalah cairan bening tanpa aroma yang biasa digunakan untuk produk perawatan kulit dan rambut. Terbukti melembapkan kulit kepala dan rambut, namun waspadai efek sampingnya yang bisa menimbulkan reaksi alergi.
11 Okt 2020
Rasa penyesalan yang terlalu dalam bisa menyabotase fisik dan pikiran seseorang. Memang pada beberapa kasus ada penyesalan yang begitu besar dan sulit diabaikan begitu saja. Namun, bukan berarti tidak mungkin diselesaikan.
13 Mei 2020
Diskusi Terkait di Forum
Dijawab oleh dr. Farahdissa
Dijawab oleh dr. Farahdissa
Dijawab oleh dr. Liliani Tjikoe
Advertisement
Jadi orang yang pertama tahu info & promosi kesehatan terbaru dari SehatQ. Gratis.
© SehatQ, 2023. All Rights Reserved