Panic buying marak terjadi di kalangan masyarakat dunia, termasuk di Indoneisa sejak meningkatnya angka pasien positif virus corona. Para ahli menanggapi hal ini dengan berbagaimacam sisi, mulai dari emosi hingga kebutuhan.
3.7
(10)
25 Mar 2020
Ditinjau oleh dr. Reni Utari
Panic buying dapat seperti virus yang menular di kalangan masyarakat
Table of Content
Sejak dikonfirmasinya dua kasus pertama positif virus corona di Indonesia, beberapa orang melakukan tindakan panic buying atau memborong sembako di tengah kepanikan. Panic buying juga terjadi di banyak negara yang sudah mengonfirmasi kasus COVID-19, termasuk Singapura dan Amerika Serikat.
Advertisement
Sebenarnya, mengapa orang melakukan panic buying? Apa alasan psikologis di balik fenomena ini?
Berikut beberapa kemungkinan alasan masyarakat melakukan panic buying, di tengah wabah penyakit seperti COVID-19:
Menurut Dr. M. Grohol, Psy.D. yang merupakan pendiri dan editor in chief Psych Central, keinginan panic buying bisa dipengaruhi orang lain karena adanya penularan emosi. Saat pembeli pertama mengamati perilaku pembeli kedua yang menimbun bahan belanja, pembeli pertama mungkin bisa terpengaruh untuk melakukan hal yang sama.
Terlebih lagi, di tengah wabah infeksi virus corona, rasa cemas terkait ketersediaan bahan makanan sering dirasakan. Hal tersebut bisa berpindah ke orang lain dan bisa dipercepat oleh media sosial. Bahkan, walau rasa cemas tersebut sebenarnya tidaklah rasional, keinginan panic buying tetap bisa dirasakan.
Tindakan panic buying untuk ikut-ikutan dengan orang lain tersebut boleh jadi merupakan perwujudan dari insting herding (herd instinct). Beberapa ahli pun mengaitkan fenomena panic buying dengan insting herding yang menjalar melalui media sosial.
Banyak peneliti menyimpulkan, alasan psikologis orang-orang melakukan panic buying berakar dari keinginan mereka untuk menekan risiko. Bagi pelaku panic buying, risiko yang menanti karena krisis mungkin akan sedikit berkurang karena bahan-bahan yang ditimbun tetap bisa digunakan di kemudian hari.
Keinginan menekan risiko dengan melakukan panic buying bisa dirangsang oleh hasrat diri, serta usaha untuk menghindari penderitaan yang bisa muncul saat krisis. Penderitaan tersebut dapat berupa penderitaan emosional dan fisik, serta penderitaan yang memang terjadi atau yang masih dalam bayangan.
Walau tindakan panic buying tak bisa dibenarkan, setiap individu pada dasarnya memiliki toleransi risiko yang berbeda. Bagi beberapa orang, menimbun makanan, termasuk bahan makanan yang cepat kadaluarsa, mampu menenangkan diri mereka - walau hal tersebut tidak rasional.
Perilaku menimbun barang dapat menimbulkan rasa ketenangan pada diri pelakunya. Sensasi bahwa “semua sudah terkontrol dengan baik” pun mungkin akan muncul di benak pelaku panic buying, begitu ia membawa barang belanjaannya ke rumah. Tindakan panic buying memunculkan “sense of relief” bagi pelakunya, serta mengikis ketakutan dan kecemasan yang dirasakan.
Sementara itu, menurut Dr. Dimitrios Tsivrikos dari University College London, panic buying dapat terjadi karena kita tak bisa menerka berapa lama krisis kesehatan masyarakat (termasuk COVID-19) akan berlangsung. Informasi dari media pun memicu kita untuk masuk ke dalam mode panik tersebut.
Lain halnya dengan panik karena krisis bencana. Pada jenis kepanikan ini, masyarakat cenderung tahu bahwa krisis ‘hanya’ akan berlangsung beberapa hari saja. Dengan demikian, kita mungkin akan lebih rasional dalam membeli produk rumah tangga.
Selain itu, untuk keperluan keluarga, Anda dapat menyiapkan barang-barang seperti dibawah ini:
Panic buying sejatinya tidak bisa dibenarkan. Dari alasan kolektif dan kemanusiaan, panic buying perlu dihindari karena banyak orang di sekitar Anda yang masih membutuhkan bahan rumah tangga tersebut. Anda bisa berbelanja secara rasional tanpa harus berlebihan, termasuk untuk menurunkan risiko buang-buang makanan.
Advertisement
Referensi
Terima kasih sudah membaca.
Seberapa bermanfaat informasi ini bagi Anda?
(1 Tidak bermanfaat / 5 Sangat bermanfaat)
Artikel Terkait
Konsep alpha male dalam hirarki kelompok manusia hanya mitos, namun menarik mengulik mengapa konsep ini begitu dikenal dalam budaya populer. Biasanya, karakteristik yang membuat seseorang dianggap sebagai alpha male dan dominan dalam pergaulannya berhubungan dengan aspek fisik.
Merasa jenuh, bingung, kewalahan, hingga sakit kepala adalah beberapa emosi dan gejala yang mungkin muncul ketika mengalami burnout, terlebih di masa pandemi. Kenali cara mengatasinya.
Kesehatan mental sangat penting dalam menentukan bagaimana respons seseorang menghadapi kondisi tak terduga dalam kehidupan. Namun pada beberapa orang, ada macam-macam gangguan psikologis yang terjadi karena berbagai faktor, seperti genetik, lingkungan, kebiasaan, hingga faktor biologis.
Diskusi Terkait di Forum
Dijawab oleh dr. Lidya Hapsari
Dijawab oleh dr. Evelin Kwandang
Dijawab oleh dr. Dwiana Ardianti
Advertisement
Jadi orang yang pertama tahu info & promosi kesehatan terbaru dari SehatQ. Gratis.
Kumpulan Artikel dan Forum
© SehatQ, 2022. All Rights Reserved