Labeling adalah pemberian cap terhadap perilaku seseorang yang bisa berujung sebagai stigma. Labeling berlebihan dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mental.
Ditinjau secara medis oleh dr. Reni Utari
28 Jul 2022
Dampak negatif dari memberikan label ke orang lain
Table of Content
Tanpa sadar, Anda mungkin pernah menilai seseorang berdasarkan kemampuan atau bentuk fisiknya. Proses pemberian cap terhadap seseorang oleh masyarakat disebut labeling. Dalam pikiran Anda, pasti ada orang tertentu yang dicap sebagai si jahat, si pelit, si baik hati, atau dicap berdasarkan pekerjaannya, si dokter, si penyanyi, atau si atlet.
Advertisement
Terlebih lagi, aksi labeling ini menjadi makin mudah dengan adanya media sosial. Banyak orang yang kemudian mendeskripsikan orang lain yang belum dikenalnya hanya dengan satu atau dua faktor saja.
Faktanya, labeling itu membawa dampak buruk untuk kesehatan mental, terlebih lagi jika Anda menaruhnya pada anak. Nah, cari tahu segala hal tentang labeling di bawah ini!
Labeling adalah pemberian cap terhadap seseorang yang dilakukan berdasarkan perilaku orang tersebut dalam satu waktu. Pemberian label ini bisa berdampak signifikan terhadap kesehatan mental, terutama jika cap yang diberikan memiliki konotasi negatif.
Saat seseorang diberi label atau cap tertentu, secara tidak sadar ia akan mengikuti label tersebut. Sebagai contoh, ada seorang anak yang kerap dicap atau disebut anak bodoh saat tidak bisa menjawab satu pertanyaan. Akibatnya seterusnya, ia akan menganggap dirinya bodoh. Ini tentu akan memberikan dampak buruk untuk masa depannya.
Meski sekilas pemberian cap ini bukanlah hal yang penting, secara tidak langsung ini menggambarkan identitas orang tersebut. Saat memberi label pada identitas seseorang, ada ekspektasi tertentu dari diri Anda terhadap perilaku orang tersebut.
Ekspektasi inilah yang kemudian akan memicu stres, baik pada pemberi label maupun yang diberi label. Ekspektasi terhadap identitas, sifatnya cenderung kaku. Padahal, kita tahu sendiri bahwa setiap manusia pasti bisa berubah.
Berikut ini beberapa contoh dari labeling dalam kehidupan sehari-hari.
Anda melabeli A sebagai orang baik. Lalu, A menunjukkan perilaku yang lebih cocok dilabeli sebagai orang jahat. Hal ini akan membuat Anda kesulitan untuk menerima hal tersebut. Sebab di benak Anda, ada ekspektasi bahwa A akan selalu baik.
Labeling membuat Anda berpikir orang baik pasti selalu baik dan orang jahat pasti selalu jahat. Padahal pada kenyataannya, hal tersebut tidak terjadi. Orang baik punya sisi jahat, begitu juga sebaliknya. Orang jahat tetap punya sisi baik.
Ketidakcocokan antara ekspektasi dan kenyataan ini bisa memicu stres atau tekanan, terutama jika perubahan tersebut memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan.
Menerima labeling juga bisa menjadi hal yang berat. Labeling pun bisa datang dari orang lain maupun diri sendiri.
Pada ibu rumah tangga yang harus kembali bekerja, misalnya. Selama ini, label ibu rumah tangga begitu melekat ke diri perempuan tersebut.
Lantas saat keadaan memaksanya harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, identitas ibu rumah tangga akan sulit dilepas.
Orang-orang akan bertanya-tanya alasan ibu tersebut kembali bekerja. Begitu juga sang ibu yang bisa saja menjadi merasa bersalah melepas statusnya sebagai ibu rumah tangga karena jadi harus “meninggalkan” anaknya di rumah.
Rasa bersalah yang terus menerus ada, lama-kelamaan bisa berkembang menjadi depresi. Labeling membuat pikiran yang seharusnya dibuka selebar mungkin, menjadi memiliki batas-batas sempit. Hal tersebut berlaku baik untuk pemberi label maupun penerima label. Oleh karena itu, meski labeling tidak bisa sepenuhnya dihindari, perilaku ini perlu dikurangi secara signifikan.
Baca Juga: Kenapa Manusia Suka Bergosip? Ini Alasannya Secara Ilmiah
Labeling bisa memicu berbagai dampak untuk kesehatan mental seseorang, seperti berikut ini.
Saat ada label negatif yang melekat, maka rasa rendah diri akan muncul. Label tersebut akan membuat orang percaya bahwa cap yang diberikan orang adalah kenyataan yang harus diterima.
Label yang melekat, melahirkan sebuah stigma. Seseorang yang diberi stigma negatif, akan merasakan berbagai emosi negatif, seperti malu, rasa bersalah, dan depresi.
Segala emosi negatif yang dirasakan tersebut, akan memicu orang yang diberi label, menarik diri dari kehidupan sosial. Hal ini dilakukan sebagai salah satu cara melindungi diri dari berbagai konsekuensi menyakitkan yang akan atau sudah terjadi.
Labeling yang berujung pada stigma, bisa berakhir pada diskriminasi pada banyak hal. Labeling negatif bisa membuat seseorang sulit mencari pekerjaan, dianggap sebelah mata oleh orang lain, bahkan lebih rentan menerima persekusi.
Hal-hal negatif yang terjadi tersebut membuat orang yang menerima label negatif, kehilangan kepercayaan diri. Tak hanya pada orang dewasa. Pada anak-anak, hal ini juga bisa terjadi.
Sebagai contoh, misalnya ada anak yang salah menjawab pertanyaan di kelas satu kali, lalu guru dan teman-temannya menertawakan dan secara tidak langsung memberikan label bodoh.
Hal ini akan membuat anak tidak punya keberanian lagi untuk menjawab pertanyaan guru di depan teman-temannya. Rasa percaya dirinya sudah hilang.
Rasa percaya diri yang sudah hilang, membuatnya juga kehilangan banyak kesempatan, termasuk kesempatan untuk belajar. Dalam jangka panjang, labeling bisa membuat seseorang bukan malas namun malu untuk belajar.
Hal ini tentu bisa membuat kemampuannya tidak berkembang dan pada akhirnya, tidak bisa bebas melakukan suatu aktivitas karena keterbatasan kemampuan.
Semua dampak labeling di atas, bisa berjalan sebagai satu siklus berbahaya yang akan terus berputar jika pemberian stereotip ini tidak segera dihentikan.
Menghadapi labeling bukanlah hal yang mudah dilakukan. Mengubah pandangan orang kepada diri kita memang tidak mudah. Namun lebih sulit lagi mengubah pandangan kita terhadap diri sendiri.
Jika kita sudah merasa tidak berharga, tidak percaya diri, dan harus menjauh dari lingkungan sosial, membalikkan semua emosi negatif tersebut perlu usaha ekstra.
Apabila Anda termasuk salah satu orang yang mengalami dampak negatif dari labeling, jangan ragu untuk meminta bantuan profesional baik itu ke psikolog ataupun psikiater.
Advertisement
Ditulis oleh Nina Hertiwi Putri
Referensi
Artikel Terkait
Amnesia disosiatif adalah gangguan ingatan, kesadaran, identitas, atau persepsi yang disebabkan oleh stres luar biasa. Hal ini dapat terjadi akibat peristiwa traumatis.
3 Mei 2019
Mirip dengan kesulitan yang dihadapi perempuan penyintas kekerasan, melupakan pengalaman buruk juga bukan perkara mudah. Tapi tenang, Anda tidak sendiri. Bagi sebagian orang, hal ini bisa berakhir dengan sendirinya. Namun akan lain halnya bagi mereka yang memiliki gangguan kecemasan sosial.
6 Okt 2021
Meditasi Vipassana adalah teknik meditasi tradisional yang dipercaya oleh agama Buddha. Manfaatnya mampu meredakan stres, kecemasan, hingga ketergantungan.
2 Apr 2021
Diskusi Terkait di Forum
Dijawab oleh dr. Liliani Tjikoe
Dijawab oleh dr. Liliani Tjikoe
Dijawab oleh dr. Liliani Tjikoe
Advertisement
Jadi orang yang pertama tahu info & promosi kesehatan terbaru dari SehatQ. Gratis.
© SehatQ, 2023. All Rights Reserved