logo-sehatq
logo-kementerian-kesehatan
Forum
Parenting

Jadwal Les Padat, Bantu Kembangkan Bakat Atau Justru Eksploitasi Anak?

open-summary

Sebagai orang tua tentu Anda ingin anak Anda beprestasi. Makanya tak jarang Anda membuat jadwal les padat untuk anak agar ia semakin banyak ilmu. Tapi hati-hati, jika anak merasa terpaksa mengikuti jadwal les yang padat hal ini malah menjadi eksploitasi anak.


close-summary

Ditinjau secara medis oleh dr. Anandika Pawitri

17 Apr 2020

Jadwal les yang padat bisa menjadi eksploitasi terhadap anak bila anak merasa terpaksa

Kegiatan les memang bermanfaat menambah kemampuan anak

Table of Content

  • Apakah les termasuk eksploitasi anak?
  • Influencers cilik, ada hak yang terenggut?
  • Cara mengembangkan bakat tanpa eksploitasi anak
  • Catatan dari SehatQ

Selain sekolah formal, orangtua tentu ingin memiliki kapasitas untuk bisa memberikan les tambahan sesuai dengan minat anak mereka. Selama les tambahan ini diikuti dengan antusias dan tidak terpaksa, hal tersebut bukan merupakan eksploitasi anak. Namun jika sudah ada motif tersembunyi bahkan anak menjadi “alat”, artinya batas wajar telah terlewati.

Advertisement

Garis antara mengembangkan bakat dan melakukan eksploitasi anak sangat abstrak. Artinya, kemungkinan tanpa sadar melewati hal itu bisa saja terjadi. Terlebih, jika situasi sudah berjalan begitu cepat dan membuat anak tanpa sadar sudah menjalani “tugas” baru di saat mereka seharusnya hanya bermain dan bersenang-senang.

Baca Juga

  • Mengenal Metode Membaca Cepat dan Manfaatnya untuk Anak
  • Anak 2 Tahun Belum Bisa Bicara, Ini Stimulasi yang Direkomendasikan
  • Menyusui Bayi Sembari Merawat Balita? Ini Tipsnya!

Apakah les termasuk eksploitasi anak?

no caption

Sebelum orangtua tanpa sadar – atau bahkan sengaja – melakukan eksploitasi anak dengan memanfaatkan bakat mereka, ada jalan panjang ke arah sana. Setiap anak punya bakat berbeda dan perlu diasah salah satunya lewat les tambahan. Perlu beberapa tahun hingga anak akhirnya “matang” dan berpotensi menjadi lebih menghasilkan lewat bakatnya.

Ketika meminta anak untuk mengikuti les tambahan, artinya ada alokasi waktu, pikiran, tenaga, dan sumber daya lain yang tersita untuk itu. Selama anak senang-senang saja mengikutinya – atau justru bersemangat – maka tak ada unsur eksploitasi anak di dalamnya.

Namun les tambahan bisa menjadi awal mula eksploitasi anak apabila ada unsur paksaan di dalamnya. Sebut saja orangtua yang punya obsesi anaknya menjadi seorang pianis cilik, mengharuskan si kecil untuk mengikuti les piano 3x seminggu. Di sisi lain misalnya, anak lebih tertarik pada alat musik lain.

Artinya, kapan les tambahan ini sudah termasuk eksploitasi anak dan kapan tidak, semuanya terlihat dari respons anak itu sendiri. Anak tak bisa memalsukan apa yang mereka rasakan.

Jadi, ketika mereka dengan tulus bersemangat untuk les tambahan subjek yang disukai, artinya orangtua justru memberi jalan untuk mengembangkan minat dan bakat mereka.

Namun jika telah dicoba dan anak tidak juga menunjukkan ketertarikan, inilah batas kapan les tambahan dianggap perlu atau bisa menjadi awal eksploitasi anak. Komunikasikan dengan anak, apakah ketidaktertarikan mereka karena faktor lingkungan, waktu, pengajarnya, atau memang subjeknya?

Di sinilah komunikasi dengan anak sangat krusial dilakukan.

Influencers cilik, ada hak yang terenggut?

Lihat betapa banyak “kidfluencers” atau influencers cilik yang berseliweran di YouTube. Jutaan komentar, tombol like, dan subscribers yang tak sedikit membuat anak mau tak mau mendapatkan pamor secara instan.

Terlebih di era digital, monetisasi kanal YouTube adalah hal yang lumrah, sekaligus menggiurkan. Uang yang masuk dari YouTube Ads hingga endorsement terkadang sulit untuk ditolak.

Itu baru YouTube, belum lagi influencers cilik lain di platform digital berbeda seperti Instagram.

Padahal, bukan tugas mereka untuk “tampil” di akun YouTube atau Instagram dan menyapa pengikutnya secara rutin. Di usia semuda itu, anak-anak masih punya hak sepenuhnya untuk bermain bebas tanpa ada aturan tentang konten apa yang harus mereka buat.

Bahkan Hollywood memiliki The Coogan Law, yang mengharuskan 15% dari pendapatan anak didepositokan di rekening terpercaya. Dengan demikian, jelas ke mana perginya pendapatan si anak terutama ketika mereka sudah besar kelak. Regulasi ini diambil karena generasi superstar cilik di media sosial sudah semakin menjamur.

Cara mengembangkan bakat tanpa eksploitasi anak

Ada kasus eksploitasi anak yang benar-benar terlihat, ada pula yang terjadi tanpa disadari. Dasarnya, eksploitasi anak adalah segala aktivitas yang mengambil hak anak untuk bisa sekolah. Selain itu, eksploitasi anak juga secara mental, fisik, sosial, dan moral berbahaya untuk mereka.

Bentuk eksploitasi anak yang paling jelas adalah menjadikan mereka pekerja. Fenomena ini terjadi di banyak negara penjuru dunia.

Sementara eksploitasi anak yang bisa terjadi tanpa disadari adalah ketika hak anak tersita terlalu banyak untuk aktivitas lain, termasuk les tambahan.

Beberapa cara untuk mengembangkan bakat tanpa eksploitasi anak adalah:

  • Perkenalkan beragam aktivitas

Menurut Theory of Multiple Intelligences, anak memiliki jenis kecerdasan berbeda-beda. Pun ketertarikan dan minat mereka. Tugas orangtua adalah memperkenalkan sebanyak mungkin aktivitas yang berbeda sehingga anak secara alami akan menunjukkan ketertarikan mereka akan satu aktivitas atau bidang spesifik.

  • Beri perhatian sepenuhnya

Di masa pertumbuhan anak, orangtua idealnya menjadi teman terdekat mereka. Untuk itu, dengarkan apapun yang disampaikan anak terkait ketertarikan mereka pada suatu hal. Begitu pula halnya dengan hal yang tidak mereka sukai. Ajak anak berkomunikasi tentang alasan mereka menyukai dan tidak menyukai hal tertentu.

  • Jadwal les tambahan wajar

Jika hanya 1-2 kali seminggu menjadwalkan anak mengikuti les tambahan yang mereka sukai, itu masih wajar. Namun jika setiap hari mereka diisi dengan les tambahan, itu akan membuat anak kewalahan baik secara fisik maupun mental.

  • Trial and error

Tentu akan selalu ada trial and error ketika anak mencoba les tambahan atau aktivitas baru. Terkadang mereka tampak suka, namun saat les ternyata tidak tertarik. Orangtua perlu tahu bahwa ada banyak faktor yang memengaruhi hal ini, dan tidak berlaku permanen. Jangan lelah untuk mencoba lagi karena anak bisa punya perubahan preferensi dari waktu ke waktu.

Catatan dari SehatQ

Orangtua adalah pihak terdekat yang bisa mendengarkan apa yang disukai dan tidak disukai buah hati mereka. Jadikan komunikasi semacam ini sebagai landasan untuk mendengarkan dan menjembatani bakat mereka, sehingga risiko eksploitasi anak bisa dihindari.

Advertisement

tips parentingibu dan anakgaya parenting

Ditulis oleh Azelia Trifiana

Referensi

Bagikan

Artikel Terkait

Diskusi Terkait di Forum

Advertisement

logo-sehatq
    FacebookTwitterInstagramYoutubeLinkedin

Langganan Newsletter

Jadi orang yang pertama tahu info & promosi kesehatan terbaru dari SehatQ. Gratis.

Perusahaan

Dukungan

Butuh Bantuan?

Jam operasional:
07:00 - 20:00 WIB

Hubungi Kami+6221-27899827

© SehatQ, 2023. All Rights Reserved