Sebagai orang tua tentu Anda ingin anak Anda beprestasi. Makanya tak jarang Anda membuat jadwal les padat untuk anak agar ia semakin banyak ilmu. Tapi hati-hati, jika anak merasa terpaksa mengikuti jadwal les yang padat hal ini malah menjadi eksploitasi anak.
Ditinjau secara medis oleh dr. Anandika Pawitri
17 Apr 2020
Kegiatan les memang bermanfaat menambah kemampuan anak
Table of Content
Selain sekolah formal, orangtua tentu ingin memiliki kapasitas untuk bisa memberikan les tambahan sesuai dengan minat anak mereka. Selama les tambahan ini diikuti dengan antusias dan tidak terpaksa, hal tersebut bukan merupakan eksploitasi anak. Namun jika sudah ada motif tersembunyi bahkan anak menjadi “alat”, artinya batas wajar telah terlewati.
Advertisement
Garis antara mengembangkan bakat dan melakukan eksploitasi anak sangat abstrak. Artinya, kemungkinan tanpa sadar melewati hal itu bisa saja terjadi. Terlebih, jika situasi sudah berjalan begitu cepat dan membuat anak tanpa sadar sudah menjalani “tugas” baru di saat mereka seharusnya hanya bermain dan bersenang-senang.
Baca Juga
Sebelum orangtua tanpa sadar – atau bahkan sengaja – melakukan eksploitasi anak dengan memanfaatkan bakat mereka, ada jalan panjang ke arah sana. Setiap anak punya bakat berbeda dan perlu diasah salah satunya lewat les tambahan. Perlu beberapa tahun hingga anak akhirnya “matang” dan berpotensi menjadi lebih menghasilkan lewat bakatnya.
Ketika meminta anak untuk mengikuti les tambahan, artinya ada alokasi waktu, pikiran, tenaga, dan sumber daya lain yang tersita untuk itu. Selama anak senang-senang saja mengikutinya – atau justru bersemangat – maka tak ada unsur eksploitasi anak di dalamnya.
Namun les tambahan bisa menjadi awal mula eksploitasi anak apabila ada unsur paksaan di dalamnya. Sebut saja orangtua yang punya obsesi anaknya menjadi seorang pianis cilik, mengharuskan si kecil untuk mengikuti les piano 3x seminggu. Di sisi lain misalnya, anak lebih tertarik pada alat musik lain.
Artinya, kapan les tambahan ini sudah termasuk eksploitasi anak dan kapan tidak, semuanya terlihat dari respons anak itu sendiri. Anak tak bisa memalsukan apa yang mereka rasakan.
Jadi, ketika mereka dengan tulus bersemangat untuk les tambahan subjek yang disukai, artinya orangtua justru memberi jalan untuk mengembangkan minat dan bakat mereka.
Namun jika telah dicoba dan anak tidak juga menunjukkan ketertarikan, inilah batas kapan les tambahan dianggap perlu atau bisa menjadi awal eksploitasi anak. Komunikasikan dengan anak, apakah ketidaktertarikan mereka karena faktor lingkungan, waktu, pengajarnya, atau memang subjeknya?
Di sinilah komunikasi dengan anak sangat krusial dilakukan.
Lihat betapa banyak “kidfluencers” atau influencers cilik yang berseliweran di YouTube. Jutaan komentar, tombol like, dan subscribers yang tak sedikit membuat anak mau tak mau mendapatkan pamor secara instan.
Terlebih di era digital, monetisasi kanal YouTube adalah hal yang lumrah, sekaligus menggiurkan. Uang yang masuk dari YouTube Ads hingga endorsement terkadang sulit untuk ditolak.
Itu baru YouTube, belum lagi influencers cilik lain di platform digital berbeda seperti Instagram.
Padahal, bukan tugas mereka untuk “tampil” di akun YouTube atau Instagram dan menyapa pengikutnya secara rutin. Di usia semuda itu, anak-anak masih punya hak sepenuhnya untuk bermain bebas tanpa ada aturan tentang konten apa yang harus mereka buat.
Bahkan Hollywood memiliki The Coogan Law, yang mengharuskan 15% dari pendapatan anak didepositokan di rekening terpercaya. Dengan demikian, jelas ke mana perginya pendapatan si anak terutama ketika mereka sudah besar kelak. Regulasi ini diambil karena generasi superstar cilik di media sosial sudah semakin menjamur.
Ada kasus eksploitasi anak yang benar-benar terlihat, ada pula yang terjadi tanpa disadari. Dasarnya, eksploitasi anak adalah segala aktivitas yang mengambil hak anak untuk bisa sekolah. Selain itu, eksploitasi anak juga secara mental, fisik, sosial, dan moral berbahaya untuk mereka.
Bentuk eksploitasi anak yang paling jelas adalah menjadikan mereka pekerja. Fenomena ini terjadi di banyak negara penjuru dunia.
Sementara eksploitasi anak yang bisa terjadi tanpa disadari adalah ketika hak anak tersita terlalu banyak untuk aktivitas lain, termasuk les tambahan.
Beberapa cara untuk mengembangkan bakat tanpa eksploitasi anak adalah:
Menurut Theory of Multiple Intelligences, anak memiliki jenis kecerdasan berbeda-beda. Pun ketertarikan dan minat mereka. Tugas orangtua adalah memperkenalkan sebanyak mungkin aktivitas yang berbeda sehingga anak secara alami akan menunjukkan ketertarikan mereka akan satu aktivitas atau bidang spesifik.
Di masa pertumbuhan anak, orangtua idealnya menjadi teman terdekat mereka. Untuk itu, dengarkan apapun yang disampaikan anak terkait ketertarikan mereka pada suatu hal. Begitu pula halnya dengan hal yang tidak mereka sukai. Ajak anak berkomunikasi tentang alasan mereka menyukai dan tidak menyukai hal tertentu.
Jika hanya 1-2 kali seminggu menjadwalkan anak mengikuti les tambahan yang mereka sukai, itu masih wajar. Namun jika setiap hari mereka diisi dengan les tambahan, itu akan membuat anak kewalahan baik secara fisik maupun mental.
Tentu akan selalu ada trial and error ketika anak mencoba les tambahan atau aktivitas baru. Terkadang mereka tampak suka, namun saat les ternyata tidak tertarik. Orangtua perlu tahu bahwa ada banyak faktor yang memengaruhi hal ini, dan tidak berlaku permanen. Jangan lelah untuk mencoba lagi karena anak bisa punya perubahan preferensi dari waktu ke waktu.
Baca Juga
Orangtua adalah pihak terdekat yang bisa mendengarkan apa yang disukai dan tidak disukai buah hati mereka. Jadikan komunikasi semacam ini sebagai landasan untuk mendengarkan dan menjembatani bakat mereka, sehingga risiko eksploitasi anak bisa dihindari.
Advertisement
Ditulis oleh Azelia Trifiana
Referensi
Artikel Terkait
Bayi jatuh dari tempat tidur berpotensi mengalami beberapa risiko cedera. Salah satu risiko fatal yang terjadi jika Si Kecil terjatuh dari kasur adalah gegar otak.
13 Mei 2019
Pola asuh permisif adalah gaya pengasuhan yang membebaskan, tidak menuntut, dan mengizinkan anak melakukan segala yang diinginkannya. Ciri-cirinya dapat berupa sangat mencintai anak hingga mementingkan kepentingan anak dibandingkan tanggung jawabnya.
23 Mei 2022
Terdapat sejumlah cara belajar membaca anak TK yang cukup efektif dan bisa dicoba dengan mudah di rumah, mulai dari mendekatkan si kecil dengan buku, mengenalkan huruf, membiasakan membaca suku kata, hingga bermain game tulis dan baca.
20 Apr 2023
Diskusi Terkait di Forum
Dijawab oleh dr. Dwiana Ardianti
Dijawab oleh dr. Dwiana Ardianti
Dijawab oleh dr. Liliani Tjikoe
Advertisement
Jadi orang yang pertama tahu info & promosi kesehatan terbaru dari SehatQ. Gratis.
© SehatQ, 2023. All Rights Reserved