Stigma pada penderita gangguan kesehatan mental di Indonesia masih berisiko memunculkan efek negatif pada pasien itu sendiri. Oleh karena itu, stigma semacam ini harus segera dihentikan.
Ditinjau secara medis oleh dr. Karlina Lestari
19 Sep 2020
Stigma bagi penderita gangguan kesehatan mental berisiko menghambat pemulihannya.
Table of Content
Divonis mengalami gangguan mental saja sudah cukup menjadi pukulan telak bagi setiap orang yang mengalaminya. Sayangnya, tidak jarang para pasien gangguan jiwa ini masih mendapat stigma sebagai orang gila yang harus dijauhi, bahkan dikucilkan.
Advertisement
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI pada 2018, sekitar 12 juta orang Indonesia yang berusia di atas 15 tahun mengalami depresi. Sebanyak 0,18% di antaranya mengalami gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia atau psikosis. Jumlah tersebut meningkat dari tahun 2013 yang tercatat 0,15%.
Tingginya angka penderita gangguan kesehatan mental di Indonesia ini ada kaitannya dengan tingginya kejadian bunuh diri di Tanah Air. Berdasarkan data nasional, pada 2016 tercatat 1.800 kematian akibat bunuh diri. Dengan kata lain, rata-rata 5 orang meninggal setiap harinya dengan mengakhiri nyawanya sendiri.
Jumlah ini memang masih jauh lebih rendah dibanding angka kematian akibat bunuh diri yang mencapai 800.000 orang per tahun secara global. Namun, bukan berarti usaha penghilangan stigma terhadap penderita gangguan kesehatan mental di Indonesia ini tidak perlu dilakukan.
Stigma adalah penilaian negatif, dalam hal ini terhadap pasien gangguan jiwa, karena dinilai berbeda secara negatif dibanding karaketeristik kebanyakan kelompok atau anggota masyarakat lain.
Stigma terhadap pasien gangguan kesehatan mental di Indonesia bukan hal baru. Bahkan tidak jarang, hal tersebut juga menimpa keluarga pasien.
Stigma terhadap penderita gangguan jiwa yang sering dijumpai misalnya:
Stigma terhadap orang dengan gangguan mental juga bisa datang dari dalam pikiran pasien itu sendiri, atau disebut stigma internal. Stigma internal mungkin tumbuh akibat adanya stigma dari masyarakat yang disebutkan di atas, maupun ketakutan akan dijauhi orang-orang karena memiliki sifat yang ‘berbeda’.
Penelitian mengungkap, stigma internal ini paling sering dialami oleh pasien dengan usia muda, tidak memiliki pekerjaan, dan masih menunjukkan gejala gangguan jiwa (seperti sering bicara sendiri atau agresif terhadap orang di sekitarnya). Jika stigma internal ini dibiarkan, proses pemulihan gangguan mental akan semakin sulit.
Munculnya stigma terhadap penderita gangguan kesehatan mental di Indonesia bisa memperburuk kondisi pasien tersebut. Beberapa efek negatif yang dialami pasien gangguan jiwa dari stigma ini antara lain:
Stigma ini kurang lebih mengurangi kesempatan penderita gangguan mental untuk berpartisipasi dalam segala bentuk kegiatan masyarakat. Sebab, stigma membuat pasien dianggap tidak mampu mencapai target atau bahkan melakukan tugas yang spesfisik.
Baca Juga
Jangan biarkan stigma menghambat aktivitas sehari-hari, apalagi sampai menghalangi Anda mendapatkan pengobatan yang layak. Lakukan langkah berikut ini untuk membentengi diri dari stigma:
Stigma terhadap penderita gangguan kesehatan mental di Indonesia biasanya muncul akibat ketidaktahuan. Dengan terbukanya akses informasi di era digital ini, diharapkan stigma tersebut akan terus berkurang, sehingga lebih banyak pasien tertolong dan tidak berujung pada depresi maupun bunuh diri.
Advertisement
Ditulis oleh Asni Harismi
Referensi
Artikel Terkait
Iatrogenik adalah infeksi saluran reproduksi yang disebabkan oleh kesalahan diagnosis, komplikasi, kealpaan, atau bahkan akibat kekeliruan pribadi dokter saat melakukan tindakan medis.
14 Jun 2019
Depresi pada remaja dapat terjadi karena berbagai faktor. Ketika mengalami depresi, remaja cenderung akan menunjukkan tanda-tanda tertentu.
21 Feb 2020
Manfaat meditasi zen disebut sebagai salah satu metode mengelola stres dan relaksasi yang ampuh. Anda belajar mengatur fokus dan mengenali pikiran diri sendiri untuk melakukannya
24 Nov 2020
Diskusi Terkait di Forum
Dijawab oleh dr. Farahdissa
Dijawab oleh dr. Farahdissa
Dijawab oleh dr. Liliani Tjikoe
Advertisement
Jadi orang yang pertama tahu info & promosi kesehatan terbaru dari SehatQ. Gratis.
© SehatQ, 2023. All Rights Reserved