Sugar rush adalah kondisi ketika seseorang mengalami kelebihan energi dan menjadi terlalu aktif setelah mengonsumsi gula. Namun, efek tersebut disinyalir hanyalah mitos belaka.
7 Feb 2022
Ditinjau oleh dr. Karlina Lestari
Sugar rush dikatakan membuat anak hiperaktif
Table of Content
Mengonsumsi gula terlalu banyak bisa merugikan kesehatan tubuh, khususnya pada anak-anak. Gula juga disinyalir dapat menyebabkan terjadinya sugar rush yang membuat si kecil menjadi lebih hiperaktif.
Advertisement
Inilah alasan mengapa para orangtua kerap mewanti-wanti buah hati mereka untuk tidak terlalu sering makan kue-kue manis maupun permen. Namun, benarkah demikian?
Istilah sugar rush mungkin sudah sering Anda dengar. Meski kerap menjadi kekhawatiran tersendiri bagi para orangtua, ini bukanlah istilah dalam dunia medis.
Sugar rush adalah kondisi kelebihan energi akibat mengonsumsi asupan gula terlalu banyak dalam waktu singkat. Hal ini bisa membuat anak menjadi terlalu aktif dan tidak bisa diam.
Beberapa orangtua mengatakan bahwa kondisi tersebut nyata karena mereka melihatnya sendiri terjadi pada anak-anak mereka.
Namun, sebagian lainnya tidak begitu percaya dengan fenomena ini. Menurut mereka, alih-alih mengalami sugar rush, anak-anak justru tampak lelah setelah mengonsumsi terlalu banyak gula.
Isu bahwa sugar rush bisa menyebabkan anak hiperaktif berawal pada tahun 1970-an.
Saat itu, seorang ahli alergi bernama Benjamin Feingold, M.D. menyarankan pola makan yang disebut diet Feingold untuk anak-anak yang mengidap ADHD (attention deficit hyperactivity disorder), disleksia, dan masalah kesulitan belajar lainnya.
Pada diet Feingold, anak tidak dianjurkan untuk mengonsumsi makanan yang mengandung salisilat, pewarna makanan, dan perasa buatan.
Meski Feingold tidak secara spesifik menyebutkan gula, banyak orangtua yang nyatanya langsung beranggapan bahwa semua zat aditif harus dikurangi, termasuk gula dapur.
Dari situlah, banyak orangtua yang percaya bahwa membatasi konsumsi gula dapat mengurangi gejala hiperaktif pada buah hati mereka. Arti sugar rush pun pada akhirnya semakin dikenal secara luas.
Hubungan antara konsumsi gula dan hiperaktivitas pada anak hanyalah mitos belaka. Apa alasannya?
Sejak diet ala Feingold marak dibicarakan, banyak penelitian mulai dilakukan untuk melihat kebenaran pengaruh zat aditif pada makanan dengan munculnya hiperaktivitas.
Sebagian besar riset menunjukkan bahwa klaim diet Feingold tidak terbukti atau hanya menunjukkan sedikit manfaat.
Sebuah analisis dari beberapa penelitian yang diterbitkan pada tahun 1995 di Journal of the American Medical Association juga menyimpulkan bahwa konsumsi gula tidak berdampak apa pun terhadap perilaku anak. Anak tidak akan menjadi hiperaktif karena makan kue-kue manis atau permen.
Pada tahun 2019, para peneliti dari Jerman dan Inggris pun mempublikasikan sebuah studi mengenai sugar rush.
Mereka justru menemukan bahwa konsumsi gula berhubungan dengan penurunan kewaspadaan (alertness) dan rasa lelah dalam satu jam pertama setelah konsumsi.
Namun, penelitian tersebut juga memiliki keterbatasan karena para penelitinya hanya menelaah efek konsumsi gula akut pada orang dewasa yang sehat.
Hasilnya mungkin bisa berbeda pada anak-anak dan orang dewasa dengan kondisi medis tertentu.
Baca Juga
Walaupun sejumlah penelitian telah membantah klaim bahwa gula bisa memicu anak hiperaktif, masih banyak orangtua yang percaya dengan mitos ini.
Menurut para peneliti, sugar rush adalah mitos yang terjadi karena masalah sugesti.
Misalnya, jika Anda percaya gula dapat membuat anak hiperaktif, Anda mungkin lebih mudah menganggap konsumsi gula sebagai penyebabnya ketika anak menjadi sedikit berenergi. Padahal pemicunya mungkin saja hal-hal lain.
Hiperaktivitas pada anak umumnya lebih berhubungan dengan masalah lain dan bukan karena makanan. Berikut adalah beberapa faktor risiko di balik anak hiperaktif yang perlu Anda ketahui.
Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) adalah gangguan perkembangan saraf yang menyebabkan anak sulit memusatkan perhatian dan memiliki perilaku hiperaktif.
Kondisi ini dapat ditandai dengan anak tidak bisa duduk diam, suka berlari atau memanjat pada waktu yang tidak tepat, berbicara terus-menerus, jarang bisa mengikuti suatu kegiatan dengan tenang, dan susah untuk bergiliran sehingga sering menyerobot orang lain.
Anak-anak sering kali menjadi hiperaktif ketika mengalami peristiwa yang penuh tekanan, misalnya perubahan dalam rutinitas. Hal ini bisa membuat anak stres karena takut tidak dapat mengendalikannya.
Berbeda dengan orang dewasa yang sering kali menjadi loyo jika kurang tidur, anak-anak justru menjadi hiperaktif.
Ketika seorang anak kurang istirahat, tubuhnya merespons dengan membuat lebih banyak hormon kortisol dan adrenalin sehingga ia tetap terjaga. Alhasil, anak lebih banyak memiliki energi.
Ketika terkena gangguan kecemasan, anak bisa kesulitan untuk duduk diam dan berkonsentrasi.
Jika Anda menduga hiperaktif anak disebabkan oleh masalah emosional ini, sebaiknya bawa anak ke psikolog atau psikiater.
Ada beberapa kondisi medis yang menyebabkan anak hiperaktif, misalnya hipertiroid. Kondisi ini dapat memicu kecemasan dan hiperaktif sehingga anak tidak bisa diam. Selain itu, masalah genetik lain juga bisa menyebabkan peningkatan aktivitas.
Konsumsi gula sudah diteliti tidak memiliki efek terhadap perilaku anak, termasuk hiperaktivitas. Meski demikian, orang tua tetap harus memperhatikan jumlah asupan gula pada anak-anak mereka.
Walaupun sugar rush adalah mitos, terlalu banyak mengonsumsi gula dikaitkan dengan risiko berbagai penyakit.
Berikut adalah berbagai bahaya mengonsumsi gula berlebihan pada anak.
Efek samping gula dapat memicu kerusakan gigi. Sebab, gula memberi makan bakteri yang hidup di mulut sehingga berkembang lebih banyak. Ketika bakteri mencerna gula, tercipta asam yang dapat mengikis email gigi.
Akibatnya, gigi menjadi berlubang bahkan rusak. Anak yang sering mengonsumsi makanan dan minuman manis lebih mungkin mengalami kondisi ini.
Diabetes merupakan salah satu penyakit akibat kebanyakan mengonsumsi gula.
Sebuah artikel pada tahun 2013 yang dipublikasikan di PLOS ONE, menunjukkan bahwa kadar gula dalam jumlah yang tinggi pada makanan dapat meningkatkan risiko diabetes tipe 2 dari waktu ke waktu.
Tidak hanya itu, obesitas juga bisa memicu gangguan kesehatan ini.
Bahaya gula selanjutnya adalah memicu obesitas. Sebab, gula memengaruhi hormon dalam tubuh yang mengendalikan berat badan.
Normalnya, hormon leptin memberi tahu otak bahwa seseorang sudah kenyang. Namun, mengonsumsi makanan atau minuman manis berlebihan dapat menyebabkan resistensi leptin.
Mengonsumsi makanan tinggi gula dikaitkan dengan risiko penyakit jantung.
Sebab, pola makan tinggi gula bisa menyebabkan obesitas dan peningkatan gula darah serta tekanan darah, yang merupakan faktor risiko penyakit jantung.
Mengonsumsi gula berlebihan juga dikaitkan dengan risiko aterosklerosis, yaitu penumpukan lemak yang menyumbat arteri.
Diet sehat dapat membantu memperbaiki suasana hati. Namun, mengonsumsi terlalu banyak gula tambahan dan makanan olahan justru dapat meningkatkan risiko depresi.
Masalah ini disinyalir terjadi karena perubahan pada gula darah, neurotransmitter tidak bekerja sebagaimana mestinya, maupun peradangan akibat gula.
Baca Juga
Anak-anak menyukai makanan dan minuman manis karena rasanya yang menyenangkan. Mereka cenderung tidak menikmati makanan yang rasanya asam, asin, atau pahit.
Tak jarang, gula pun ditambahkan untuk menutupi rasa tersebut. Misalnya, gula menutupi rasa asam dari limun atau rasa pahit dari cokelat sehingga anak menyukai rasanya.
Dilansir dari NBC News, ilmuwan yang mempelajari indra manusia menyatakan bahwa salah satu alasan mengapa anak-anak cenderung menyukai makanan manis adalah karena sifatnya yang memberi tahu bahwa makanan itu aman untuk dikonsumsi.
Anak-anak juga menyukai rasa manis untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Sebab, ketika pertumbuhan berjalan dengan cepat, kebutuhan kalori pun meningkat. Hal tersebut mendorong mereka untuk mengonsumsi makanan manis.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memberikan rekomendasi asupan gula yang benar.
Untuk orang dewasa maupun anak-anak, jumlah gula yang dikonsumsi sebaiknya tidak melebihi 10 persen dari total asupan energi per hari.
Bahkan, akan lebih baik jika di bawah lima persen atau sekitar enam sendok teh untuk anak berusia 2-18 tahun.
Sementara itu, anak berusia di bawah 2 tahun seharusnya tidak mengonsumsi gula tambahan sama sekali. Sebab, mengonsumsi banyak gula tambahan di awal-awal kehidupan dikaitkan dengan risiko obesitas, tekanan darah tinggi, dan diabetes tipe 2.
Terlalu banyak mengonsumsi makanan manis juga menyisakan lebih sedikit ruang di perut anak untuk makanan sehat, seperti buah-buahan, sayur-mayur, biji-bijian, dan produk susu rendah lemak.
Oleh sebab itu, tetaplah menjaga asupan gula harian anak dan diri Anda sendiri. Berikut adalah langkah yang dapat dilakukan untuk mengatur asupan gula harian.
Langkah-langkah di atas dinilai baik untuk menghindari gangguan kesehatan yang berbahaya akibat gula.
Untuk berdiskusi lebih lanjut seputar sugar rush, tanyakan langsung pada dokter di aplikasi kesehatan keluarga SehatQ. Download sekarang di App Store dan Google Play.
Advertisement
Referensi
Artikel Terkait
Cara membuat KIA alias Kartu Identitas Anak ternyata relatif mudah dan tidak membutuhkan waktu lama. Dokumen yang diperlukan adalah Kartu Keluarga, KTP orangtua, hingga foto anak.
Gigi gigis adalah jenis kerusakan gigi pada anak akibat terlalu sering menyusu dengan botol sambil tidur. Penyebabnya beragam, mulai dari terlalu sering mengonsumsi susu formula, hingga makanan ringan tinggi gula. Bagaimana cara merawat dan mengatasinya?
Tes DNA anak perlukan dilakukan untuk mengetahui latar belakang medisnya seperti golongan darah, asal-usul keturnan, hingga mutas genetika
Diskusi Terkait di Forum
Dijawab oleh dr. Liliani Tjikoe
Dijawab oleh dr. Lizsa Oktavyanti
Dijawab oleh dr. Liliani Tjikoe
Advertisement
Jadi orang yang pertama tahu info & promosi kesehatan terbaru dari SehatQ. Gratis.
© SehatQ, 2023. All Rights Reserved