Kekerasan terhadap perempuan bukanlah hal yang baru. Kekerasan terhadap perempuan dapat memiliki dampak psikologis yang buruk seperti trauma, reaksi fisik, keinginan bunuh diri, dan berbagai reaksi negatif lainnya.
2023-03-30 12:16:59
Ditinjau oleh dr. Anandika Pawitri
Kekerasan terhadap perempuan dapat menyebabkan korban depresi
Ketika terjadi kekerasan terhadap perempuan, orang pertama yang paling terdampak adalah pihak korban. Sayangnya, kekerasan terhadap perempuan baik secara verbal, seksual, maupun fisik penyembuhannya tak semudah luka akibat cedera. Bukan hanya fisik, tapi kehidupan psikologisnya juga menjadi taruhan.
Advertisement
Setiap korban kekerasan terhadap perempuan bereaksi dengan cara berbeda. Budaya, sifat, dan konteks kehidupan yang dijalaninya selama ini berpengaruh terhadap caranya bertahan dari kekerasan itu. Waktu untuk bisa pulih bagi para penyintas kekerasan terhadap perempuan juga berbeda-beda.
Hidup orang yang pernah mengalami kekerasan terhadap perempuan tak akan lagi sama. Kekerasan sekecil apapun itu akan membekas dan menjadi bagian dari kehidupannya. Mungkin ada kekerasan yang disepelekan orang lain – terlebih hukum belum berpihak pada perempuan korban kekerasan – tapi tetap saja bukan hal remeh bagi orang yang mengalaminya.
Meskipun perempuan yang mengalami kekerasan sudah berhasil keluar dari lingkaran negatif, jangan dikira masalah berhenti sampai di situ. Akan ada rentetan dampak kekerasan terhadap perempuan bagi penyintasnya.
Apa saja yang mungkin terjadi?
Baik kekerasan yang berlangsung bertahun-tahun maupun yang baru akan terjadi akan berdampak besar bagi sisi emosi seorang perempuan. Di satu sisi, penyintas bisa merasa menyalahkan diri sendiri atau sebaliknya, begitu marah pada situasi.
Biasanya, emosi-emosi negatif ini juga disertai rasa takut, tidak mudah percaya, sedih, rapuh, dan malu. Sangat mungkin orang yang pernah mengalami kekerasan terhadap perempuan akan merasa dirinya tak lagi berharga.
Pada akhirnya, segala jenis reaksi emosi akibat kekerasan terhadap perempuan ini membuat seseorang bisa menutup diri dari sekitar. Mulai dari keluarga, sahabat, pasangan, bahkan dunia.
Tak hanya emosi, sisi psikologis penyintas kekerasan terhadap perempuan juga akan terpengaruh. Bahkan, meskipun kekerasan yang dialaminya telah cukup lama berlalu. Jenis-jenis dampaknya bisa berupa mimpi buruk yang berhubungan dengan kekerasan, flashback, sulit berkonsentrasi, depresi, hingga post-traumatic stress disorder.
Apabila kondisi ini menjadi semakin parah, sebaiknya tidak didiamkan begitu saja. Salah jika menganggap dampak psikologis pada korban kekerasan terhadap perempuan akan hilang seiring dengan berjalannya waktu.
Seiring dengan kehidupan, akan ada pemantik-pemantik yang membuat memori buruknya muncul kembali. Lebih baik jika penyintas diberikan jenis terapi psikologi sesuai dengan kondisi yang dialaminya.
Tentu kondisi fisik tak bisa berbohong jika seorang perempuan pernah mengalami kekerasan. Baik itu kekerasan hanya terjadi satu kali maupun terus menerus – seperti kasus KDRT – akan ada dampaknya secara fisik. Luka fisik akibat kekerasan terhadap perempuan mungkin bisa mereda setelah beberapa waktu.
Meski demikian, tubuh dan reaksi fisik tidak bisa berbohong. Akan ada perubahan mulai dari siklus tidur, pola makan, hingga respons terhadap ancaman. Sangat masuk akal apabila penyintas kekerasan terhadap perempuan menjadi lebih sensitif terhadap bunyi atau sentuhan tertentu yang mengingatkannya kembali pada kekerasan yang pernah dialaminya.
Masih berhubungan dengan sisi psikologis, penyintas kekerasan terhadap perempuan juga bisa mengalami masalah dengan kepercayaan diri. Lagi-lagi, ini terjadi karena kerap mengalami kekerasan sehingga merasa dirinya tidak berguna.
Ketika kepercayaan diri ini runtuh, maka ada kemungkinan merembet pada hal lain seperti cemas berlebih pada situasi tertentu, menghindari tempat atau orang tertentu, terus menerus merasa sedih, bahkan bisa muncul suicidal thoughts atau keinginan untuk mengakhiri hidup.
Baca Juga
Dilema tentang apa yang harus dilakukan saat menjadi korban kekerasan terhadap perempuan masih terus terjadi hingga kini. Tak sedikit yang dengan lantang melaporkan apa yang terjadi padanya, terlepas dari apakah hukum akan berpihak pada korban.
Di sisi lain, lebih banyak lagi korban yang memilih tetap diam. Entah itu takut karena diancam pelaku, terjebak dalam situasi yang sulit, atau merasa segalanya akan membaik suatu saat nanti.
Memang memutuskan untuk tetap diam memberikan gambaran seakan semuanya masih dalam kendali. Korban pun bisa merasa baik-baik saja. Meski demikian, ketika dampak kekerasan terhadap perempuan sudah mengubah terlalu banyak hal baik secara fisik, emosi, dan psikologis, maka sudah saatnya mencari bantuan dari profesional.
Jangan menyepelekan pentingnya bercerita atau mencari bantuan dari profesional ketika sudah berhubungan dengan kekerasan terhadap perempuan. Menghindari akar masalah hanya akan menjadi strategi jangka pendek untuk menenangkan diri sendiri.
Baca Juga
Namun sayangnya, hal ini justru akan menyebabkan kesulitan jangka panjang yang lebih rumit. Menahan emosi, menghindari pemicu trauma, atau bahkan merasa kekerasan yang dialami adalah hal wajar merupakan awal dari penderitaan psikologis dalam jangka panjang.
Para penyintas tidaklah sendiri. Ada banyak perempuan di luar sana yang juga mengalami kekerasan. Jika hukum dirasa belum berpihak pada para korban, ingatlah bahwa masih banyak profesional yang bisa membantu mengelola emosi dan trauma terkait kekerasan yang pernah dialami.
Advertisement
Referensi
Artikel Terkait
Siklotimia adalah gangguan suasana hati yang mirip dengan bipolar dan membuat penderitanya mengalami fluktuasi mood, seperti rasa sedih dan gejala depresi.
Sindrom Munchausen adalah gangguan psikologis yang menyebabkan penderitanya sering pura-pura sakit. Tujuannya, untuk mendapatkan perhatian. SIndrom Munchausen ini diakibatkan oleh kekerasan pada anak yang berdampak pada perilakunya.
Nyctophobia adalah fobia gelap yang membuat penderitanya merasa takut akan kegelapan. Kabar baiknya, nyctophobia bisa diatasi dengan terapi eksposur, terapi kognitif, hingga teknik relaksasi.
Diskusi Terkait di Forum
Dijawab oleh dr. Lizsa Oktavyanti
Dijawab oleh dr. Stasya Zephora
Dijawab oleh dr. Liliani Tjikoe
Advertisement
Jadi orang yang pertama tahu info & promosi kesehatan terbaru dari SehatQ. Gratis.
© SehatQ, 2023. All Rights Reserved