Self-diagnosis adalah asumsi pribadi tentang sebuah penyakit yang dibuat tanpa konsultasi dari dokter. Pengakuan ini bisa berdampak buruk pada kesehatan mental.
Ditinjau secara medis oleh dr. Reni Utari
20 Nov 2022
Informasi kesehatan dari internet seharusnya menjadi acuan bagi Anda untuk menemui ahli
Table of Content
Pascakehebohan film Joker baru-baru ini, serta diperingatinya Hari Kesehatan Mental Sedunia pada 10 Oktober lalu, isu mengenai kesehatan mental dan jiwa kembali banyak diperbincangkan.
Advertisement
Di satu sisi, hal ini merupakan sebuah kemajuan, bahwa masyarakat mulai menunjukkan perhatian mereka dengan kesehatan dan gangguan mental, serta peduli dengan orang-orang yang menjadi penyintas. Namun sayangnya, muncul pula tren merasa memiliki gangguan mental, tanpa berkonsultasi dengan ahli kejiwaan.
Tindakan meyakini bahwa diri sendiri menderita suatu gangguan atau penyakit ini, dikenal dengan self-diagnosis. Walau merasa menunjukkan gejala psikologis tertentu, mendiagnosisnya sendiri merupakan tindakan yang berbahaya karena belum tentu Anda benar-benar menderita gangguan mental yang diyakini.
Self-diagnosis adalah upaya mendiagnosis diri sendiri berdasarkan informasi yang didapatkan secara mandiri dari sumber-sumber yang tidak profesional, misalnya teman atau keluarga, bahkan pengalaman di masa lalu.
Padahal, diagnosis diri hanya boleh ditetapkan oleh tenaga medis profesional. Proses menuju diagnosis yang tepat sangatlah sulit, bahkan ketika Anda berkonsultasi dengan dua dokter yang berbeda, hasilnya belum tentu sama.
Diagnosis harus ditentukan berdasarkan gejala, keluhan, riwayat kesehatan, serta faktor lain yang Anda alami. Saat mendiagnosis diri,seringnya Anda menyimpulkan suatu masalah kesehatan fisik maupun psikologis dengan berbekal informasi yang Anda miliki.
Setidaknya, terdapat dua kerugian dan bahaya self-diagnosis terhadap gangguan mental, yang belum tentu Anda alami. Kedua bahaya tersebut, membuat Anda berisiko mengalami salah diagnosis (misdiagnosis), serta salah penanganan.
Bahaya pertama adalah risiko misdiagnosis, yang akan berdampak negatif pada diri sendiri. Misalnya, ada seseorang yang melakukan self-diagnosis bahwa ia menderita gangguan kecemasan. Padahal, jika ia mau mencari pertolongan dokter, ada kemungkinan lain berupa gejala fisik yang ia alami. Bisa saja, yang dialaminya bukanlah gangguan mental, melainkan penyakit fisik yang harus diobati, seperti kondisi aritmia.
Karena tidak segera mencari bantuan profesional, dan melakukan self-diagnosis bahwa ia mengidap gangguan kecemasan, individu tersebut berisiko untuk melewatkan penanganan untuk kondisi aritmia atau gangguan irama jantung.
Ada banyak kriteria yang harus terpenuhi oleh seseorang, agar bisa didiagnosis oleh ahli jiwa, bahwa ia mengidap gangguan mental tertentu. Gejala gangguan mental yang satu, dengan gangguan jiwa lain, juga kerap memiliki kesamaan. Bagaimanapun, tindakan ini adalah cara yang salah untuk dilakukan.
Bahaya kedua adalah risiko terjadinya kesalahan cara Anda menangani gangguan, yang belum tentu benar-benar dialami. Misalnya, Anda berisiko mengonsumsi obat ilegal. Obat-obatan tersebut, selain ilegal, juga barangkali menimbulkan efek samping, interaksi obat, kesalahan dalam cara konsumsi, hingga kesalahan dosis.
Anda juga tidak boleh mengonsumsi obat orang lain, yang tidak bisa dikonsumsi oleh semua orang. Satu jenis obat mungkin aman dikonsumi rekan Anda, namun belum tentu hal tersebut berlaku juga bagi diri Anda. Jangan konsumsi obat, tanpa adanya instruksi dari dokter.
Tak hanya itu, bahaya self-diagnosis lainnya adalah membuat Anda menunda berkonsultasi dengan ahli kejiwaan, dan mendapatkan penanganan yang paling tepat.
Menurut ahli, melakukan self-diagnosis dan meyakini diri sendiri menderita gangguan mental tertentu, tidak membantu Anda untuk pulih. Malah sebaliknya, tindakan tersebut berisiko memperburuk kondisi kejiwaan Anda.
Informasi yang berlimpah di Internet, seperti gejala-gejala gangguan mental tertentu, kuis mengenai kesehatan mental, atau informasi obat penyakit mental, hanya bisa Anda jadikan sebagai acuan untuk menemui psikolog atau psikiater.
Walau memahami gejala atau menunjukkan hasil kuis tersebut dapat berguna, diagnosis hanya boleh dilakukan oleh para ahli. Sebab, psikolog dan psikiater memang berkompeten, memiliki pengetahuan, dan telah menjalani serangkaian pelatihan, untuk memahami kondisi kejiwaan seseorang. Selain itu, mereka lebih objektif dalam menyelami permasalahan yang tengah mendera Anda.
Baca juga: Manfaat Support System untuk Kesehatan Mental
Informasi dari Internet dan media tidak dapat digunakan, sebagai cara untuk melakukan self-diagnosis terhadap gangguan mental (maupun penyakit fisik), yang belum tentu benar-benar Anda idap. Meningkatkan awareness terhadap mental illness itu penting, sangat diperlukan. Hanya saja, membekali diri dengan pengetahuan, tidak sama dengan melakukannya.
Berkonsultasi dengan dokter untuk dapatkan diagnosis yang tepat. Manfaatkan Klinik Online Spesialis Psikologi untuk berkonsultasi dengan dokter secara online. Donwload aplikasinya dari Play Store dan App Store sekarang.
Advertisement
Ditulis oleh Arif Putra
Referensi
Artikel Terkait
Stres rupanya bisa menjadi dampak sekaligus penyebab kebutaan. Ketika seseorang kehilangan penglihatannya, ada kemungkinan merasa stres dan cemas dengan situasinya. Di sisi lain, bisa juga terjadi conversion disorder yaitu stres terus menerus yang mengakibatkan masalah penglihatan.
7 Nov 2020
Kemudahan berbelanja secara online jadi salah satu pemicu seseorang kecanduan belanja. Kondisi ini juga bisa tergolong gangguan mental bila tidak diatasi secara serius.
18 Jun 2019
Viral kasus ibu yang hampir membuang bayinya di rel kereta, kenali gejala serta cara mengatasi baby blues dan stres pasca-melahirkan yang berbahaya jika dibiarkan.
5 Sep 2023
Diskusi Terkait di Forum
Dijawab oleh dr. Farahdissa
Dijawab oleh dr. Farahdissa
Dijawab oleh dr. Dwiana Ardianti
Advertisement
Jadi orang yang pertama tahu info & promosi kesehatan terbaru dari SehatQ. Gratis.
© SehatQ, 2023. All Rights Reserved