Sunat perempuan terus menjadi perdebatan. WHO mengelompokkan prosedur tersebut menjadi empat tipe, yang keseluruhannya membuat klitoris robek atau klitoris terpotong.
Ditinjau secara medis oleh dr. Reni Utari
5 Nov 2019
Sunat perempuan tidak memiliki manfaat untuk kesehatan
Table of Content
Sunat perempuan masih menjadi perdebatan. Prosedur ini banyak mengundang polemik karena membenturkan sudut pandang yang berbeda, yaitu agama dan budaya, dengan medis.
Advertisement
Saat ini, menurut United Nations Population Fund (UNFPA), lembaga di bawah naungan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang salah satu tugasnya menyelesaikan permasalahan sunat perempuan di dunia, terdapat sekitar 200 juta perempuan yang telah disunat.
Sebagian besar perempuan tersebut berada di Benua Afrika dan area Timur Tengah. Namun, di beberapa negara Asia, Eropa Timur, dan Amerika Selatan, praktik yang bisa disebut sebagai female genital mutilation (FGM) ini juga masih dilakukan.
Ada tiga faktor utama yang menjadi alasan masih dilakukannya sunat pada alat kelamin perempuan, yaitu faktor sosial, faktor budaya, dan faktor agama. Sementara itu faktor medis, tidak masuk ke dalamnya. Sebab, prosedur ini terbukti tidak memberikan manfaat apapun untuk wanita.
Faktor sosial mengacu pada orangtua yang menyunatkan anak perempuannya, karena orang lain juga melakukan hal serupa. Bahkan, di beberapa komunitas, perempuan yang belum disunat, tidak diperkenankan untuk mengambil air dan makanan dengan alasan mereka belum dianggap “bersih”.
Di beberapa negara, sunat perempuan dilakukan sebagai bagian dari adat istiadat. Perempuan yang disunat dianggap bisa menjadi istri yang lebih baik dan lebih setia, karena alat kelaminnya telah “dirusak”.
Di belahan dunia lain, sunat perempuan dilakukan dengan alasan agar alat kelaminnya terlihat lebih bersih, bagus, dan tidak terlihat seperti laki-laki.
Ada beberapa agama yang masih menganjurkan pengikutnya untuk melakukan sunat perempuan. Meski begitu, saat ini pendapat para pemuka agama mengenai praktik ini pun ada beragam.
Baca Juga
Tidak semua prosedur sunat perempuan dilakukan dengan cara yang sama. Badan kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) mengelompokkan prosedur tersebut menjadi empat tipe, yaitu:
Sunat perempuan tipe 1, dikenal juga dengan istilah clitoridectomy. Pada tipe ini, seluruh bagian klitoris benar-benar diangkat. Namun, ada juga yang hanya menghilangkan lipatan kulit di sekitar klitoris.
Sering juga disebut sebagai eksisi, pada tipe ini, pengangkatan dilakukan pada sebagian atau seluruh klitoris dan labia minora (lipatan vagina bagian dalam). Pengangkatan ini dilakukan dengan atau tanpa pemotongan labia majora (lipatan luar vagina).
Tipe 3 disebut juga dengan nama infibulasi. Sunat jenis ini membuat pembukaan vagina menjadi lebih sempit, dengan menempatkan semacam lapisan penutup.
Penutup dibuat dari pemotongan dan reposisi labia minora atau labia mayora, dan yang kemudian dijahit. Prosedur ini bisa disertai dengan maupun tanpa pengangkatan klitoris.
Prosedur yang berbahaya bagi alat kelamin dan bukan merupakan indikasi medis seperti menusuk area tersebut dengan jarum, mengiris, atau menggoresnya, masuk ke dalam genital.
Prosedur sunat perempuan tipe 3, dinilai lebih berisiko menimbulkan masalah kesehatan dibandingkan dengan tipe 1 dan tipe 2. Namun secara umum, semua tipe sunat perempuan berisiko untuk kesehatan.
Dampak sunat perempuan bisa terjadi secara langsung setelah prosedur, maupun dalam jangka panjang. Permasalahan yang bisa muncul segera setelah prosedur dilakukan di antaranya:
Sementara itu untuk jangka panjang, sunat pada perempuan dinilai berisiko menimbulkan berbagai kondisi di bawah ini.
Infeksi seperti abses genital (munculnya benjolan berisi nanah di area genital) dan hepatitis B adalah risiko yang bisa timbul akibat sunat perempuan. Infeksi di area vagina semakin rentan terjadi, karena sunat perempuan akan membuat jaringan di vagina lebih mudah sobek saat berhubungan seksual. Hal ini juga aka meningkatkan risiko terjadinya infeksi lain seperti HIV dan penyakit menular seksual.
Jaringan parut yang terbentuk setelah dilakukannya sunat perempuan tipe 2 dan 3, dapat menimbulkan nyeri, terutama saat melakukan hubungan intim. Kondisi ini bisa menurunkan gairah wanita atau libido dalam berhubungan seksual, mengakibatkan vagina menjadi kering, dan membuat kepuasan seksual wanita menurun.
Perlukaan di vagina juga akan membuat jaringannya menjadi kurang elastis sehingga akan sulit untuk meregang saat berhubungan seksual atau melahirkan.
Sunat perempuan bisa berdampak pada kesehatan mental karena bagi beberapa wanita, prosedur ini berpotensi menimbulkan trauma. Trauma berkaitan dengan depresi dan gangguan kecemasan, serta dapat membuat wanita kembali mengingat saat sunat dilakukan, dan mengalami mimpi buruk.
Perempuan yang disunat dengan prosedur seperti tipe 3, dapat mengalami nyeri haid parah. Sebab, menyempitnya bukaan vagina, menyebabkan darah menstruasi jadi lebih sulit keluar, dan membuat haid berlangsung lebih lama.
Sunat perempuan tipe 3 juga bisa mengambat aliran urine, sehingga perempuan yang mengalaminya berisiko lebih tinggi terkena infeksi saluran kemih. Karena alirannya terhambat, urine bisa menumpuk dan terkristalisasi atau mengeras, sehingga batu kandung kemih terbentuk.
Indonesia, bersama dengan Mesir dan Etiopia menyumbang hampir setengah dari jumlah perempuan yang disunat di seluruh dunia. Jumlah gabungan praktik sunat perempuan yang dilakukan di ketiga negara ini mencapai angka sekitar 70 juta jiwa.
Hampir setengah anak perempuan di seluruh Indonesia yang berusia 11 tahun ke bawah, sudah disunat. Tipe sunat perempuan yang paling banyak dilakukan di Indonesia adalah tipe 1 dan 4.
Praktik sunat perempuan di Indonesia, memang masih menjadi dilema. Dari sisi agama, praktik ini dinilai perlu dilakukan. Sehingga, meski pada tahun 2006 Kementerian Kesehatan RI mengeluarkan larangan terhadap praktik tersebut karena alasan medis, sejumlah organisasi keagamaan kembali merekomendasikan perempuan untuk disunat.
Sebagai respons, pada tahun 2010, Kementerian Kesehatan RI kembali mengeluarkan peraturan seputar sunat perempuan, yang menjelaskan bahwa prosedur sunat yang boleh dilakukan hanya boleh sebatas menggores klitoris, tanpa menimbulkan cedera apapun dengan tujuan membersihkan kotoran pada vulva.
Lalu pada tahun 2014, peraturan tahun 2010 tersebut kembali ditarik. Sehingga, bisa dikatakan, status peraturan mengenai prosedur sunat perempuan di Indonesia saat ini masih menggantung. Sebab, tidak ada peraturan yang secara jelas melarang, meski juga tidak direkomendasikan.
Karena di negara ini sunat perempuan belum benar-benar dilarang, maka saat ini keputusan untuk melakukan praktik tersebut, menjadi pilihan orangtua masing-masing. Namun ada baiknya, selalu berkonsultasi dengan dokter, sebelum melakukan maupun menjalani tindakan yang berisiko membahayakan kesehatan tubuh.
Advertisement
Ditulis oleh Nina Hertiwi Putri
Referensi
Artikel Terkait
Daun sirih untuk keputihan telah digunakan sejak lama, baik dengan cara meminum air rebusannya maupun membasuh organ intim dengan air rendaman sirih. Namun, penggunaan berlebihan justru dapat mengganggu pH alami organ kewanitaan.
5 Feb 2020
Vagina berbulu tebal ternyata memiliki beberapa keuntungan. Selain bisa mengurangi risiko iritasi pada vagina, hal ini juga dapat menjadi perangkap feromon.
1 Mei 2020
Terapi hormon tidak hanya sekedar untuk orang yang ingin menjalani operasi ganti kelamin, tetapi justru umumnya digunakan untuk mengatasi menopause. Terapi ini mampu mengurangi dampak menopause, seperti sensasi panas, berkeringat, serta ketidaknyamanan di organ intim.
27 Apr 2023
Diskusi Terkait di Forum
Dijawab oleh dr. Farahdissa
Dijawab oleh dr. Farahdissa
Dijawab oleh dr. Liliani Tjikoe
Advertisement
Jadi orang yang pertama tahu info & promosi kesehatan terbaru dari SehatQ. Gratis.
© SehatQ, 2023. All Rights Reserved